GNTV INDONESIA, PONTIANAK || Di Kalimantan Barat, sebuah kasus yang memprihatinkan menyoroti sisi gelap dari dunia jurnalisme yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi. Seorang pengusaha, berinisial AS, diduga menjadi korban pemerasan oleh oknum wartawan dari media berinisial FK. Dengan dalih kebebasan pers, wartawan tersebut memproduksi 18 berita dalam 24 hari, yang lebih terlihat seperti upaya pemerasan daripada pengungkapan kebenaran.
Oknum tersebut melakukan pemerasan melalui ancaman digital, meminta uang sebesar Rp5 miliar dengan iming-iming menghentikan pemberitaan negatif. Ancaman ini menunjukkan betapa rentannya integritas jurnalistik ketika dimanfaatkan untuk tujuan pribadi.
Dewan Pers, yang biasanya berfokus pada pengawasan berita hoaks, kini harus turun tangan dalam kasus ini. Profesor Dr. Komaruddin Hidayat mengundang kedua belah pihak untuk mediasi melalui Zoom Meeting pada 10 Juni 2025. Pertemuan ini menjadi harapan bagi penyelesaian sengketa secara damai, meski ada kekhawatiran bahwa kasus ini bisa berubah menjadi drama berkepanjangan.
Rabu. (11/06/2025)
Di sisi hukum, AS tidak tinggal diam dan telah melaporkan kasus ini ke Polda Kalbar. Pihak kepolisian mulai menyelidiki kasus ini dengan mengacu pada UU ITE, khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang penyebaran informasi bohong dan ancaman melalui media elektronik.
Kasus ini bukanlah yang pertama, dan sayangnya mungkin bukan yang terakhir. Pola serupa sering terjadi, di mana oknum wartawan memanfaatkan profesi mereka untuk keuntungan pribadi. Dewan Pers diharapkan bisa memastikan bahwa mediasi berjalan adil dan mengawasi apakah tindakan ini adalah pola sistemik atau hanya ulah segelintir oknum.
Kasus ini menjadi sorotan penting bagi jurnalisme di Indonesia. Di satu sisi, jurnalis seharusnya menjadi pahlawan yang menyuarakan kebenaran bagi masyarakat. Namun, kasus ini menunjukkan ada sisi gelap profesi yang harus dibersihkan agar jurnalisme tetap menjadi profesi yang terhormat.
Kita menantikan episode selanjutnya dari kasus ini. Apakah AS akan mendapatkan keadilan yang layak, atau justru FK akan lolos dengan dalih kebebasan pers? Yang jelas, integritas dan kepercayaan publik terhadap jurnalisme harus dipulihkan agar media bisa kembali berfungsi sebagai watchdog yang sebenarnya.
JURNALIS : G. IRFAN