-->
  • Jelajahi

    Copyright © GLOBAL NEWS TV INDONESIA
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Adsense

    Iklan

    Logo

    Proses Pidana Terhadap Penyebar Meme Ciuman Prabowo - Jokowi Harusnya Melalui Restorative Justice Bukan Proses Pidana

    REDAKSI
    Minggu, 11 Mei 2025, 5/11/2025 11:23:00 AM WIB Last Updated 2025-05-11T14:21:31Z

    GNTV INDONESIA || Berita Penangkapan terhadap seorang Mahisiswi ITB berinisial SSS mendapat berbagai tanggapan yang sangat viral diberbagai platform media nasional maupun sosial media. Tanggapan beragam muncul dari akademisi,aktifis dan juga praktisi hukum di republik ini.

    Saat awak media Gntv Indonesia Mewawancari praktis hukum  begini pendapatnya :
    Chandra Kirana yang merupakan seorang Advokat dan praktisi hukum menyampaikan bahwa
    "Syarat pelaporan kasus pelanggaran UU ITE meliputi beberapa hal utama. Pertama, pelapor harus memiliki identitas yang sah dan bukti yang kuat, seperti screenshot, video, atau rekaman yang menunjukkan pelanggaran. Kedua dan dalam hal ini bukti postingan dimedia sosial telah didapatkan melalui akun media sosial milik SSS sendiri, pelapor harus memiliki legal standing, yaitu kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan laporan, misalnya sebagai korban langsung atau perwakilan atau kuasa hukum dengan surat kuasa. Selain itu, laporan harus memenuhi unsur tindak pidana yang diatur dalam UU ITE dan peraturan lainnya.


    Artinya seseorang yang menjadi subjek hukum pelecehan bilamana tidak bisa hadir sendiri dapat memberikan kuasa dalam hal ini secara legal standing kepada advokat selaku kuasa hukumnya,namun korban tetap harus dihadirkan secara langsung untuk memberikan keterangan kesaksiannya sebagai saksi korban",Tegas Chandra.

                   

    Chandra Menambahkan "Dalam perkara Mahasiswi ITB berinisial SSS pengunggah meme Prabowo-Jokowi ciuman dianggap melanggar kesusilaan,sehingga dianggap melanggar 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1)  Undang-Undang Informasi dan transaksi (UU ITE) terhadap mahasiswa ITB pengunggah meme Presiden RI Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo sedang berciuman.

    Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4). Pelanggaran tersebut termasuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.

    Pasal 45 ayat (1) UU ITE:

    Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)


    Adapun Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan pemalsuan dan manipulasi data elektronik.


    Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar dianggap seolah-olah data yang otentik akan diancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12 miliar",ungkap Chandra.

    Chandra kembali menambahkan "Namun dalam amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024,

    Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa institusi negara, kelompok masyarakat, dan korporasi tidak lagi bisa menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melaporkan seseorang. putusan ini tentu membawa implikasi besar, baik bagi individu maupun institusi.
    Akan Tetapi MK menyatakan bahwa frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU ITE hanya berlaku untuk individu, bukan institusi atau jabatan. Dalam perkara karikatur Meme yang dilakukan Mahsiswi ITB berinisial SSS tersebut dianggap melanggar asusila sebagai mana yang ditegaskan pada pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1)  Undang-Undang Informasi dan Transaksi (UU ITE).



    Kendati demikian sampai saat ini pihak kepolisian masih belum memberikan informasi kepada masyarakat siapa yang membuat laporan tersebut,karena sesuai peraturan yang berlaku laporan harus dibuat oleh Presiden Prabowo dan atau Mantan Presiden Jokowi secara langsung atau kuasa hukumnya dan prosedur prosesnya juga harus diminta keterangan langsung kepada korban pelapor yaitu Presiden Prabowo dan atau mantan Presiden Jokowi sebagai korban pelecehan sekaligus subjek hukumnya. Kepolisian tidak bisa gegabah melakukan proses hukum dengan adanya keputusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024.


    Kalau kita cermati kembali Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/2/11/2021 yang ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit pada Jumat, 19 Februari 2021.


    Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

    “Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” harap Kapolri dalam Surat Edaran tersebut.


    Bahwa dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaskud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.

    Penyidik Polri pun diminta memedomani hal-hal sebagai berikut:

    a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.

    b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.

    c. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

    d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.

    e. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

    f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

    g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

    h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.

    i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.

    j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

    k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

    “Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri,” tegas Kapolri dalam Surat Edaran tersebut.


    Dalam perkara mahasiswi ITT berinisial SSS menurut saya tidak seharusnya dilakukan  proses pemidanaan tapi bisa dikedepankan upaya pembinaan melalui Restorative Justice untuk mencapai keadilan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang terlibat, bukan hanya sekadar memberikan hukuman. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong pertanggungjawaban pelaku, memulihkan korban, dan mengembalikan hubungan yang terganggu. Ini dicapai melalui proses dialog, mediasi, dan kesepakatan bersama antara korban, pelaku, dan masyarakat. Yang harus dipertimbangkan jangan sampai proses pidana tersebut harus membunuh masa depan dari seorang Mahsiswi yang merupakan harapan masa depan dari generasi bangsa ini dan hal ini yang harus dipertimbangkan betul-betul untuk dapat menempatkan porsi penegakan hukum yang tepat tanpa menghilangkan dan membunuh masa depan seorang mahasiswi tanpa melalui edukasi yang dapat menimbulkan efek jera ," ungkap Chandra Mengakhiri penjelasannya.


    Jurnalis : Revie IWOI

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    NamaLabel

    +